Dalam sekejap komponen elektronika yang ditangani, menyatu dengan papan rangkaian PCB dengan menggunakan timah tersebut. Begitulah Azis, alumni santri dari Pesantren Darul Hidayah bekerja menyolder peralatan elektronika lampu yang dilabeli Limar atau Listrik Mandiri Rakyat.
Pondok Pesantren Daarul Hidayah terletak di Jalan 17 Agustus II No 19, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Lokasi produksi Limar berada di lantai dua.
Berjalan ke ujung lorong, terdapat ruangan pembuatan Limar berukuran 4x3 meter. Di lokasi inilah para santri turut memproduksi lampu hemat energi yang tujuannya bukan untuk komersil.
Selain hemat energi, lampu itu mengurangi gas karbondioksida. Sebabnya, lampu Limar kreasi warga Bandung ini berupa lampu LED atau Light Emitting Diode yang tenaga listriknya berasal dari surya panel.
Sekretaris I Yayasan Pesantren Terpadu Darul Hidayah Ridwan Hidayat mengatakan, lampu hemat energi Limar dirintis sejak 2008 oleh Ujang Koswara. Secara sepintas lampu Limar seperti bohlam biasa.
Namun, 19 lampu LED yang dipasang melingkar tersebut didesain agar cahayanya tersebar merata secara luas. Adapun cangkang lampunya dengan bentuk seperti bola golf.
"Lampu Limar ini hanya 1,5 watt tapi lampunya setara 10 kali lipat lampu pijar. Beban listriknya hemat," kata Ridwan saat ditemui, Kamis (21/10/2021).
Ridwan menjelaskan bahwa Pesantren Darul Hidayah memiliki kesibukan lain di luar aktivitas kesehariannya belajar dalam ilmu agama. Meski demikian, perakitan lampu penerangan hemat energi ini bukan ekstrakurikuler.
"Ide awalnya dari ketua yayasan Pak Haji Asep. Beliau melihat santri itu kebiasaan siang kalau enggak ada tugas ya tidur. Lalu terpikir bagaimana kalau selain menimba ilmu agama, santri punya bekal dalam kehidupan akhirnya dibuka produksi Limar," ujarnya.
Pengetahuan tentang perakitan dan pembuatan Limar dari Ujang Koswara ini akhirnya ditransfer kepada santri. Dengan harapan apabila santri telah bisa membuat Limar nantinya dapat membantu masyarakat dalam hal kebutuhan lampu penerangan, sekaligus agar para santri kelak mampu menjadi pengusaha mandiri.
"Awalnya ada beberapa santri yang diajak. Tapi mereka pegang solder saja takut. Setelah terbiasa justru ketika ada barang elektronik yang rusak mereka sekarang ini sudah berani memperbaiki," kata Ridwan.
Ridwan sendiri merupakan alumni pesantren pada 2010. Setelah mengenyam pendidikan sarjana ekonomi, ia kembali ke pesantren untuk memimpin produksi lampu Limar.
Azis pun juga salah satu murid Ridwan. Ia saat ini tengah mengambil studi sarjana di salah satu kampus swasta di Bandung. Ia mengaku banyak mendapat pengalaman yang bermanfaat dari kegiatan produksi Limar.
"Manfaatnya yang terasa itu asalnya kan jarang menggeluti dunia perlistrikan, tapi setelah dicoba jadi bisa. Sejak ikut memproduksi Limar jadi sering pergi keluar kota untuk membekali masyarakat lain," kata Azis.
Ridwan mengatakan, saat ini ada 20 santri dari total 300 santri di pesantren yang turut memproduksi lampu limar. Para santri yang terlibat, tidak dibebankan target jumlah produksi untuk membuat Limar.
Namun rata-rata santri memproduksi satu boks, terdiri atas lima lampu Limar dan satu switch box setiap harinya. Para santri yang bekerja diberi bantuan pembuatan Kartu Indonesia Pintar dan uang saku sebesar Rp70 ribu per boks.
Dengan biaya Rp3 juta untuk pemasangan Limar dan solar panel, warga yang kesulitan memperoleh listrik bisa mendapat penerangan yang memadai. Namun, pihak pesantren menggandeng sejumlah perusahaan yang berderma lewat bantuan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Hasilnya, warga yang tak teraliri listrik karena akses dan tak mampu bayar bisa mendapatkan Limar secara gratis.
"Kita memang tidak berjualan untuk komersial seperti dijual secara online karena nanti dipasarkan online dikhawatirkan banyak yang meniru atau menyalahgunakan. Apalagi target kita terbatas, sasarannya ke daerah yang sulit mendapatkan listrik dari PLN," tutur Ridwan.
Pesantren Darul Hidayah sendiri dihuni oleh mayoritas anak jalanan dari sekitaran Kota Bandung. Sang pendiri pesantren, Ki Haji Ajengan Memed berinisiatif untuk membantu kaum marjinal agar bisa memperoleh pendidikan.
"Sebanyak 40 persen siswa di sini dari mulai SD sampai SMA adalah anak jalanan. Mereka enggak dikenai biaya pendidikan karena sudah ada KIP. Yang dari luar pesantren tapi ikut mengaji tiap malam ke sini juga ada," kata Ridwan. (Red./Dodi S)
0 Komentar