Azynews, Siti Aisyah usianya sudah setengah abad. Selama 22 tahun, umurnya habis menjadi buruh jahit di PT Masterindo Jaya Abadi, Kota Bandung. Penghujung April 2021 lalu, tepatnya dua pekan sebelum lebaran, dirinya mendadak di-PHK bersama sekitar 1.142 buruh lainnya.
“Hari itu saya sedang kerja, tiba-tiba mendapat pengumuman PHK,” katanya.
Kabar yang sampai ke telinga Siti, perusahaan konon akan bangkrut karena dihantam pandemi Covid-19. Perusahaan tak sanggup membayar upah pekerja dan PHK massal pun terjadi. Belakangan, kabar itu diragukan oleh kawan-kawan buruh. Pasalnya, perusahaan tetap masih berproduksi, lalu merekrut buruh-buruh baru dengan status kontrak.
“Waktu itu (ketika PHK terjadi), kerjaan rasanya seperti biasanya saja, orderan ramai, sempat bikin APD (alat perlindungan diri) Covid-19,” aku Siti.
Situasi makin runyam ketika perusahaan diduga enggan membayar pesangon sesuai aturan. Hitung-hitungan Siti, didasarkan pada Undang-Undang Ketenagakerjaan nomor 30 Tahun 2003, sebagai karyawan tetap yang sudah bekerja 22 tahun harusnya ia menerima total pesangon mencapai Rp100-120 juta.
“Tapi perusahaan hanya menyodorkan uang sekitar Rp11 juta,” katanya.
Pengakuan serupa juga disampaikan Yani (44). Persis seperti Siti, Yani sudah bekerja di PT Masterindo selama 22 tahun. Ketika di-PHK, ia pun mengaku tak mendapatkan pesangon. Selain itu, Tunjangan Hari Raya (THR) pun tak dibayarkan. Belum lagi, upah bulan April 2021 belum ia terima hingga kini, termasuk uang cuti tahunan.
“Kami menuntut keadilan,” kata Yani.
Kamis siang, 29 September 2022, Siti dan Yani ditemui wartawan ketika mereka tengah berdiri memblokade Jalan LLRE Martadinata, tepatnya di depan Pengadilan Negeri Klas IA Bandung (PN Bandung). Bersama ratusan buruh korban PHK lainnya, Siti dan Yani turut dalam aksi demonstrasi.
Diketahui, kasus PHK massal di PT Masterindo Jaya Abadi hingga kini masih berproses hukum. Buruh yang kebanyakan berhimpun di Serikat Pekerja Tekstil-Sandang-Kulit (TSK) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Bandung menggugat perusahan ke pengadilan, menuntut agar perusahaan mau menunaikan kewajibannya.
Proses gugatan sudah tiba di akhir babak, pada 5 Oktober 2022 nanti, majelis hakim yang menangani perkara akan membacakan putusan. Para buruh berharap bahwa ketukan palu hakim bisa mendatangkan keadilan.
“Sebelum putusan kita mengingatkan majelis hakim agar jangan main-main dengan nasib buruh, jangan main-main dengan nasib rakyat tertindas,” ungkap Ketua DPD SPSI Jawa Barat, Roy Jinto, yang datang memimpin aksi tersebut.
Buruh, katanya, khawatir majelis hakim bermain di bawah meja dengan perusahaan, lalu menjegal perjuangan buruh di pengadilan. Menurut Roy, kecurigaan mereka wajar setelah berkaca pada kasus Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang belum lama ini ditangkap Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK) atas kasus suap pengurusan perkara.
“Aksi kita upaya mengingatkan bahwa pengadilan adalah tempat mencari keadailan, kita meminta pengadilan memberikan rasa keadilan,” kata Roy.
Aksi lanjutan, aku Roy, bakal digelar lebih besar pada hari putusan nanti. Anggota SPSI Jawa Barat, katanya, sudah diinstruksikan untuk turun jalan bersolidaritas mengawal pembacaan putusan. Ia mengklaim, akan ada gelombang demonstrasi 5.000 buruh pada 5 Oktober mendatang.
“Karena ini jadi preseden buruk. Kalau sampai kita kalah, maka tidak menutup kumungkinan pengusaha lain bakal meniru gaya Masterindo dalam mem-PHK karyawannya,” tutur Roy.
Selepas terkena PHK, Siti dan Yani terpaksa pulang kampung. Siti kembali ke rumahnya di Garut, sementara Yani pulang ke Tasikmalaya. Dengan memakai kendaraan umum, mereka sengaja berangkat dari luar kota untuk ikut aksi, menuntut apa yang dirasa jadi hak mereka sebagai pekerja.
Setelah di-PHK, Yani dan Siti belum bekerja di perusahaan lain. Sebagai perempuan yang turut jadi tulang punggung keluarga, mereka berupaya putar kepala untuk bisa bertahan. Siti misalnya, membuka warung rumahan dengan modal seadanya.
“Saya buka warung di rumah. Saya punya dua anak, satu sudah lulus sekolah satu lagi masih kelas 3 SMA. Suami saya kerja dekorasi-dekorasi gitu,” ungkapnya.
Meski harus korban ongkos dan waktu, Siti dan Yani tak menyesal berangkat ke Bandung. Mereka berharap perjuangan buruh tak sia-sia. Pada 5 Oktober nanti, mereka kembali berdiri menanti keadilan.
“Harapannya hakim memberikan putusan yang adil, hakim tidak membela yang salah dan kita mendapatkan hak kita,” kata Yani.
“Saya minta pengadilan supaya mengeluarkan keputusan yang adil, kami mendapatkan hak kami. Saya juga minta pemerintah melihat perjuangan buruh selama ini,” imbuh Siti. (Red./Ansar Nurhadi)
0 Komentar