BANDUNG, AZYNEWS- Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih terjadi di Jabar. Selain itu, kasus perkawinan anak pun masih marak. Berbagai elemen mengampanyekan melawan kekerasan dan perkawinan terhadap anak pada peringatan Hari Anak Nasional.
Hari Anak Nasional diperingati setiap tanggal 23 Juli. Hari Anak Nasional ini bertujuan memberi penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak anak. Hak anak adalah hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.Sayangnya, tak sedikit anak-anak yang haknya terampas. Seperti yang terjadi di Jabar. Kasus perkawinan anak, atau anak-anak yang mendapatkan dispensasi menikah masih marak.
Mengutip data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jabar, perkawinan anak pada tahun 2022 mencapai 5.523 kasus. Sedangkan, pada tahun lalu kasus pernikahan anak mencapai 6.794.
Kemudian, untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jabar pun terus meningkat setiap tahunnya. Mengutip dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2022 mencapai 2.001 kasus. Sedangkan, pada 2020 tercatat ada 1.186 kasus, dan 2021 ada 1.766 kasus.
Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AKB Emma Kusumah mengatakan faktor meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu kesadaran masyarakat untuk melapor. Emma mengatakan pemerintah tengah gencar mengedukasi dan memfasilitasi masyarakat untuk melapor melalui melalui berbagai program, seperti Jabar Cekas, aduan online dan lainnya.
"Memang kalau dilihat dari grafik makin tinggi, tapi di situ berarti masyarakat sudah berani melapor. Sudah berani bicara. Jadi kasusnya ikut tinggi. Jabar tinggi, jangan dilihat kasusnya, tapi dilihat dari advokasi di masyarakat dan kesadaran untuk melapor," kata Emma pada acara Peringatan Hari Anak Nasional yang digagas Rutgers di Bandung, Kamis (20/7/2023) .
Emma tak menampik kemungkinan masih ada beberapa daerah yang masyarakatnya masih enggan melapor. Ia mendorong agar masyarakat berani bicara soal kekerasan dan perkawinan anak.
"Nanti 27 daerah kita akan maping masyarakat mana yang masih kurang aktif untuk melapor, harus ada survei, ya survei terkait dengan tingkat kesadaran untuk melapor. Ini bisa koordinasi dengan kabupaten dan kota di Jabar," kata Emma.
Perkawinan anak pada tahun 2022 mencapai 5.523 kasus. Data ini menunjukkan masih tingginya perkawinan anak di Jabar. Dalam data yang disampaikan Emma, ada banyak faktor yang membuat dispensasi perkawinan anak diterbitkan, seperti ekonomi, hamil, intim, dan cinta.
"Faktor ekonomi salah satunya. Ini terjadi dalam beberapa kasus pernikahan anak," kata Emma.
Lebih lanjut, dalam data DP3AKB itu menyebutkan dari 27 daerah di Jabar, kasus perkawinan pada anak yang tertinggi dilihat dari jumlah dispensasi yang diterbitkan terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, yakni sebanyak 748 kasus. Kemudian, Kabupaten Garut mencapai 570 kasus, dan Kabupaten Indramayu mencapai 564 kasus.
Emma menjelaskan selain faktor ekonomi, faktor budaya seperti pengantin cilik juga menjadi penyumbang perkawinan terhadap anak. Padahal, lanjut Emma, dalam undang-undang anak yang masih berusia 19 tahun ke bawahsejatinya tak diizinkan untuk menikah.
Pada acara Peringatan Hari Anak yang digagas Ruang Temu Generasi Sehat (Rutgers) Indonesia, aliansi dari anak, remaja, dan orang muda di Bandung mendeklarasikan beberapa poin untuk menyikapi kasus kekerasan dan perkawinan anak. Ada enam poin yang disampaikan anak-anak di Jabar.
Deklarasi itu menyinggung soal penegakan hukum yang harus punya perspektif korban, optimalisasi pencegahan dan pelayanan kekerasan serta perkawinan anak, penyediaan akses informasi dan edukasi yang terintegrasi, evaluasi implementasi Perda nomor 3/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak, perketat dispensasi perkawinan anak, dan penyediaan informasi dan edukasi soal hak-hak anak.
Emma pun mengapresiasi acara tersebut. Menurut Emma, tak semua remaja punya kesadaran dan kepedulian terhadap kekerasan, serta perkawinan terhadap anak.
"Kita harus rangkul mereka yang peduli terkait dengan hal tersebut, tidak semua remaja di luar sana seperti mereka ini," ucap Emma.
Sementara itu,Tim Kampanye Media Jaringan Advokasi Jabar (JAJ) Youth Annisa Noor Fadilah mengatakan kegiatan yang dihadiri aktivis perempuan dan anak itu merupakan upaya dalam mencegah terjadinya kasus kekerasan berbasis gender dan seksual. Ia mengatakan tak sedikit masyarakat yang masih belum sadar, dan belum berani untuk melapor kasus kekerasan di lingkungannya. Termasuk yang menjadi korban.
"Kalau saya melihat ini urgen. Banyak banget kasus yang terjadi. Kadang, orang-orang di sekitar kita nggak peduli. Nggak ngeh juga kalau itu kekerasan. Hal ini terjadi karena budaya patriarki terus melenggang," katanya.
Perempuan yang akrab disapa Ica itu mengatakan di lingkungan pendidikan, seperti kampus juga kerap terjadi kekerasan, seperti pelecehan seksual. Ia menilai dunia pendidikan harus terus disorot karena rawan terjadinya kasus kekerasan.
"Tahun lalu, kita menerima seratusan lebih laporan kasus kekerasan dari salah satu kampus. Sekarang kita mencoba mengumpulkan teman-teman jaringan. Menyatukan kekuatan untuk berani bersuara," ucap Ica. (Red./Alin)
0 Komentar